Penambangan Emas Picu
Pencemaran Merkuri
Bukan
cuma mencemari lingkungan, penambangan emas berdampak pada vegetasi dan hewan
air.
Peneliti dari Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Marike Mahmud, mengatakan, dampak negatif dari penambangan emas
yang dilakukan rakyat adalah pencemaran merkuri. Bahkan, dampak lingkungan
seperti perubahan kualitas air, sedimen, hewan air, dan vegetasi akibat
penggunaan merkuri dalam mengekstraksi emas turut menjadi dampaknya.
Hal ini dipaparkannya dalam ujian terbuka
program doktor UGM Bidang Ilmu Geografi dengan disertasinya berjudul
"Model Sebaran Spasial Temporal Konsentrasi Merkuri Akibat Penambangan
Emas Tradisional Sebagai Dasar Monitoring dan Evaluasi Pencemaran Di Ekosistem
Sungai Tulabolo Provinsi Gorontalo", di Yogyakarta, Sabtu (28/4).
Berdasarkan penelitiannya, pencemaran merkuri
adalah hasil proses pengolahan emas secara amalgamasi. Proses amalgamasi emas
yang dilakukan oleh masyarakat secara tradisional dapat terlepas ke lingkungan.
"Saat proses tahap pencucian inilah,
limbah yang umumnya masih mengandung merkuri dibuang langsung ke badan air.
Menjadikan merkuri tercampur, terpecah-pecah berwujud butiran-butiran halus,
yang tentu sifatnya sukar dipisahkan," papar Marike.
Menurut Marike proses penggilingan yang
dilakukan bersamaan dengan proses amalgamasi menyebabkan proses pencucian
merkuri dalam ampas terbawa masuk sungai. Di dalam air, merkuri dapat berubah
menjadi senyawa organik metil merkuri atau fenil merkuri akibat proses
dekomposisi oleh bakteri. Selanjutnya senyawa organik tersebut akan terserap
oleh jasad renik dan masuk dalam rantai makanan.
"Terjadi akumulasi dan biomagnifikasi
dalam tubuh hewan air seperti ikan dan kerang pada akhirnya masuk juga ke tubuh
manusia melalui makanan yang dikonsumsi," jelasnya.
Seperti di daerah Mohutango, Kabupaten Bone
Bolango, Gorontalo, yang memiliki 46 unit pengolahan emas. Sementara kisaran
waktu pengolahan untuk satu tromol mencapai empat jam, sehingga proses
pengolahan dalam kurun waktu 24 jam, intensitas usaha mencapai lima hingga
tujuh kali proses.
Data menunjukkan terdapat 460 kilogram merkuri
yang dipakai dalam setiap kali putaran. Dari setiap kilogram merkuri maka
menghasilkan 10 gram limbah. Sehingga dapat diperkirakan limbah yang terbuang
ke lingkungan sebesar 4,6 kilogram terbuang ke lingkungan untuk satu kali
putaran. Sedangkan untuk lima kali putar setiap harinya, tentu sebanyak 23
kilogram limbah terbuang ke lingkungan. "Kondisi ini tentu sangat
mengkhawatirkan, karena dapat mencemari Sungai Bone. Padahal sungai ini
merupakan sumber air minum masyarakat Gorontalo," tuturnya.
Melihat limbah sudah berdampak pada keluhan
kesehatan masyarakat, disarankan perlu adanya prioritas wilayah pengelolaan
untuk mereduksi dan mencegah terjadinya pencemaran merkuri. Terutama di lokasi
yang menjadi sumber limbah. "Jika sumber limbah dikelola dengan baik maka
konsentrasi merkuri tidak akan menyebar ke arah hilir, dan ekosistem di wilayah
ini akan pulih seperti keadaan alamiahnya," kata Marike.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) Yogyakarta, Suparlan, tak menampik dengan hasil riset tersebut. Ia
mengatakan bahwa penambangan emas tradisional menggunakan unsur merkuri. Dengan
demikian, dampak negatif terhadap lingkungan memang sangat tinggi khususnya
kualitas air.
Saran: Untuk mengatasi dampak negatif yang lebih
parah, perlunya pengelolaan penambangan emas rakyat secara
komunal. Artinya, ada pengawasan secara khusus dan tersistematis tentang
cara-cara yang benar dalam menambang emas.
Sumber :
http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/penambangan-emas-picu-pencemaran-merkuri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar