Kamis, 14 Januari 2016

Bentuk Kerjasama Atar Negara Dalam Bidang Ekonomi

MEA
Indonesia tengah bersiap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Dampak terciptanya MEA adalah pasar bebas di bidang permodalan, barang dan jasa, serta tenaga kerja.
Memang tujuan dibentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) untuk meningkatkan stabilitas  perekonomian dikawasan ASEAN, serta diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah dibidang ekonomi antar negara ASEAN.

ASEAN merupakan kekuatan ekonomi ketiga terbesar setelah Jepang dan Tiongkok, di mana terdiri dari 10 Negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja.
Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berawal dari kesepakatan para pemimpin ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada Desember 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia. Kesepakatan ini bertujuan meningkatkan daya saing ASEAN serta bisa menyaingi Tiongkok dan India untuk menarik investasi asing. Modal asing dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan warga ASEAN.
Pada KTT selanjutnya yang berlangsung di Bali Oktober 2003, petinggi ASEAN mendeklarasikan bahwa pembentukan MEA pada tahun 2015.
Ada beberapa dampak dari konsekuensi MEA, yakni dampak aliran bebas barang bagi negara-negara ASEAN, dampak arus bebas jasa, dampak arus bebas investasi, dampak arus tenaga kerja terampil, dan dampak arus bebas modal.
Tidak hanya dampak, ada beberapa hambatan Indonesia untuk menghadapi MEA.
Pertama, mutu pendidikan tenaga kerja masih rendah, di mana hingga Febuari 2014 jumlah pekerja berpendidikan SMP atau dibawahnya tercatat sebanyak 76,4 juta orang atau sekitar 64 persen dari total 118 juta pekerja di Indonesia.
Kedua, ketersediaan dan kualitas infrastuktur masih kurang sehingga memengaruhi kelancaran arus barang dan jasa.
Ketiga, sektor industri yang rapuh karena ketergantungan impor bahan baku dan setengah jadi.
Keempat, keterbatasan pasokan energi.
Kelima, lemahnya Indonesia menghadapi serbuan impor, dan sekarang produk impor Tiongkok sudah membanjiri Indonesia.
Menjelang MEA yang sudah di depan mata, pemerintah Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan langkah strategis dalam sektor tenaga kerja, sektor infrastuktur, dan sektor industri.

MEE
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Eropa mengalami kemiskinan dan perpecahan. Usaha untuk mempersatukan Eropa sudah dilakukan. Namun, keberhasilannya bergantung pada dua negara besar, yaitu Prancis dan Jerman Barat. Pada tahun 1950 Menteri Luar Negeri Prancis, Maurice Schuman berkeinginan menyatukan produksi baja dan batu bara Prancis dan Jerman dalam wadah kerja sama yang terbuka untuk negara-negara Eropa lainnya, sekaligus mengurangi kemungkinan terjadinya perang. Keinginan itu terwujud dengan ditandatanganinya perjanjian pendirian Pasaran Bersama Batu Bara dan Baja Eropa atau European Coal and Steel Community (ECSC) oleh enam negara, yaitu Prancis, Jerman Barat (Republik Federal Jerman-RFJ), Belanda, Belgia, Luksemburg, dan Italia. Keenam negara tersebut selanjutnya disebut The Six State.

Keberhasilan ECSC mendorong negara-negara The Six State membentuk pasar bersama yang mencakup sektor ekonomi. Hasil pertemuan di Messina, pada tanggal 1 Juni 1955 menunjuk Paul Henry Spaak (Menlu Belgia) sebagai ketua komite yang harus menyusun laporan tentang kemungkinan kerja sama ke semua bidang ekonomi. Laporan Komite Spaak berisi dua rancangan yang lebih mengintegrasikan Eropa, yaitu:

1. membentuk European Economic Community (EEC) atau Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE);
2. membentuk European Atomic Energy Community (Euratom) atau Badan Tenaga Atom Eropa.

Rancangan Spaak itu disetujui pada tanggal 25 Maret 1957 di Roma dan kedua perjanjian itu mulai berlaku tanggal 1 Januari 1958. Dengan demikian, terdapat tiga organisasi di Eropa, yaitu ECSC, EEC (MEE), dan Euratom (EAEC). Pada konferensi di Brussel tanggal 22 Januari 1972, Inggris, Irlandia, dan Denmark bergabung dalam MEE. Pada tahun 1981 Yunani masuk menjadi anggota MEE yang kemudian disusul Spanyol dan Portugal. Dengan demikian keanggotaan MEE sebanyak 12 negara.

MEE merupakan organisasi yang terpenting dari ketiga organisasi tersebut. Bukan saja karena meliputi sektor ekonomi, melainkan juga karena pelaksanaannya memerlukan pengaturan bersama yang meliputi industri, keuangan, dan perekonomian.

2. Tujuan Pembentukan Organisasi MEE
MEE menegaskan tujuannya, antara lain:

1. integrasi Eropa dengan cara menjalin kerja sama ekonomi, memperbaiki taraf hidup, dan memperluas lapangan kerja;
2. memajukan perdagangan dan menjamin adanya persaingan bebas serta keseimbangan perdagangan antarnegara anggota;
3. menghapuskan semua rintangan yang menghambat lajunya perdagangan internasional;
4. meluaskan hubungan dengan negara-negara selain anggota MEE. Untuk mewujudkan tujuannya, MEE membentuk Pasar Bersama Eropa (Comman Market ), keseragaman tarif, dan kebebasan bergerak dalam hal buruh, barang, serta modal.


3. Struktur Organisasi MEE
Organisasi MEE memiliki struktur organisasi sebagai berikut.
a) Majelis Umum (General Assembly) atau Dewan Eropa (European Parliament)
Keanggotaan Majelis Umum MEE berjumlah 142 orang yang dipilih oleh parlemen negara anggota. Tugasnya memberikan nasihat dan mengajukan usul kepada Dewan Menteri dan kepada Komisi tentang langkah-langkah kebijakan yang diambil, serta mengawasi pekerjaan Badan Pengurus Harian atau Komisi MEE serta meminta pertanggungjawabannya.

b) Dewan Menteri (The Council)
Dewan Menteri MEE mempunyai kekuasaan tertinggi untuk merencanakan dan memberikan keputusan kebijakan yang diambil. Keanggotaannya terdiri atas Menteri Luar Negeri negara-negara anggota. Tugasnya menjamin terlaksananya kerja sama ekonomi negara anggota dan mempunyai kekuasaan membuat suatu peraturan organisasi. Ketuanya dipilih secara bergilir menurut abjad negara anggota dan memegang jabatan selama enam tahun.

c) Badan Pengurus Harian atau Komisi (Commision)
Keanggotaan Badan Pengurus Harian atau Komisi MEE terdiri atas sembilan anggota yang dipilih berdasarkan kemampuannya secara umum dengan masa jabatan empat tahun. Komisi berperan sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan badan pelaksana MEE. Di samping itu komisi juga mengamati dan mengawasi keputusan MEE, memperhatikan saran-saran baru, serta memberikan usul dan kritik kepada sidang MEE dalam segala bidang. Hasil kerjanya dilaporkan setiap tahun kepada Majelis Umum (General Assembly).

d) Mahkamah Peradilan (The Court of Justice)
Keanggotaan Mahkamah Peradilan MEE sebanyak tujuh orang dengan masa jabatan enam tahun yang dipilih atas kesepakatan bersama negara anggota. Fungsinya merupakan peradilan administrasi MEE, peradilan pidana terhadap keanggotaan komisi, dan peradilan antarnegara anggota untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul di antara para negara anggota. Peradilan konstitusi berfungsi untuk menyelesaikan konflik perjanjian internasional. Untuk melancarkan aktivitasnya, Masyarakat Ekonomi Eropa membentuk beberapa organisasi baru, yaitu:
a) Parlemen Eropa (European Parliament);
b) Sistem Moneter Eropa (European Monetary System);
c) Unit Uang Eropa (European Currency Unit);
d) Pasar Tunggal (Single Market).

Menurut perhitungan suara referendum Prancis yang diselenggarakan pada tanggal 20 September 1992 tentang perjanjian Maastrich, menunjukkan bahwa 50,95% pemilih menyatakan setuju. Untuk mendirikan organisasi-organisasi tersebut pada tanggal 7 Februari 1992 di Maastrich, Belanda diadakan pertemuan anggota MEE. Hasil pertemuan itu dituangkan dalam sebuah naskah perjanjian yang disebut The Treaty on European Union (TEU) atau Perjanjian Penyatuan Eropa yang telah ditandatangani oleh Kepala Negara/Pemerintah di Maastrich, Belanda. Referendum dimaksudkan untuk mendapatkan persetujuan dari 12 negara anggota Masyarakat Eropa, yakni Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, Belgia, Luksemburg, Italia, Irlandia, Denmark, Portugal, Spanyol, dan Yunani.

4. Perubahan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) menjadi Uni Eropa (UE) Melalui perjanjian
Maastrich, ke–12 negara anggota Masyarakat Eropa dipersatukan dalam mekanisme Kesatuan Eropa, dengan pelaksanaan secara bertahap. The Treaty on European Union mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 1993, setelah diratifikasi oleh semua parlemen anggota masyarakat Eropa. Mulai tahun 1999, Masyarakat Eropa hanya mengenal satu mata uang yang disebut European Currency Unit (ECU) atau (European Union – EU). Beberapa bentuk perjanjian yang pernah dilakukan MEE harus mengalami beberapa kali amandemen. Hal itu berkaitan dengan bertambahnya anggota. Kenggotaan Uni Eropa terbuka bagi semua negara dengan syarat:

1. negara tersebut berada di kawasan Benua Eropa;
2. negara tersebut harus menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, penegakan hukum, menghormati hak asasi manusia (HAM), dan bersedia menjalankan segala peraturan perundang-undangan Eropa.

Pada tahun 2004 keanggotaan Uni Eropa berjumlah dua puluh lima negara. Sepuluh negara yang menjadi anggota baru Uni Eropa sebelumnya berada di wilayah Eropa Timur. Negara anggota Uni Eropa yang baru itu adalah Republik Ceko, Estonia, Hongaria, Latvia, Lithuania, Malta, Polandia, Siprus, Republik Slovakia, dan Slovenia. Pada tahun 2007, Bulgaria dan Rumania juga diharapkan bergabung dengan Uni Eropa. Sementara itu, permintaan Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa masih ditangguhkan. Hal itu disebabkan Turki belum melaksanakan perubahan (reformasi) politik dan ekonomi di dalam negerinya.
WTO
Tahun 1995 menjadi sebuah babak baru dalam perekonomian internasional. Pada tahun ini, dibentuklah organisasi perdagangan yang lebih formal yakni World Trade Organization (WTO). Dibentuknya WTO ini sekaligus menggantikan rezim perdagangan lama yaitu General Agreements on Tariffs and Trade (GATT) yang telah berjalan sejak 1947. Perubahan rezim perdagangan ini tentu menimbulkan dampak terhadap perekonomian internasional secara umum. Sebagao sebuah organisasi, WTO lebih memiliki legalitas dan aturan yang lebih jelas serta mengikat. Berikut merupakan ulasan dari proses terbentuknya WTO dan keberadaannya sebagai organisasi perdagangan internasional.
Meskipun GATT memberikan prinsip-prinsip yang berlaku dalam perdagangan internasional, bukan berarti GATT ini terlepas dari kekurangan. Muncul beberapa kelemahan dari GATT ini. Kelemahan-kelemahan ini terlihat seperti GATT dirasa hanya terlalu fokus mengenai perdagangan barang, dan kurang memperthatikan mengenai adanya perdagangan jasa. Kemudian GATT juga tidak dapat dijalankan secara menyeluruh karena hanya membahas suatu tujuan atau bersifat ad hoc dan berlaku pada kurun waktu tertentu. Persetujuan-persetujuan yang diambil oleh GATT juga tidak membutuhkan ratifikasi oleh parlemen dari negara anggota. Selain itu kelemahan lain dari GATT adalah tidak menyediakan prosedur penyelesaian jika suatu saat terjadi konflik antar negara anggota GATT. Dari kelemahan-kelemahan GATT ini kemudian muncul beberapa fase yang mengantarkan GATT ini menuju rezim perdagangan yang lebih modern, yakni WTO.
Dengan adanya perubahan dari GATT menuju WTO, maka terdapat pula nilai dan prinsip yang berubah. Jika pada GATT lebih berfokus pada barang, maka dalam WTO produk jasa juga diperhatikan. Selain itu WTO juga memiliki anggota yang tetap. Hal ini berkaitan dengan status WTO yang sebagai organisasi internasional. Inilah perbedaan utama antara WTO dan GATT. Sebagai internasional, maka WTO memiliki aturan yang lebih jelas dan legal untuk dipatuhi. Sehingga muncul legitimasi dari dunia internasional sendiri. Dengan adanya WTO ini, negara yang terlibat dalam perdagangan internasional tidak hanya didiominasi oleh AS, Eropa, dan Jepang saja. Negara-negara lain juga mulai menunjukkan eksistensinya dalam perdagangan internasional, seperti India dan China. Namun, dengan adanya WTO ini juga memunculkan kendala baru. Yakni dengan banyaknya anggota baru yang masuk di mana dapat berimplikasi pada semakin banyaknya kepentingan yang diusung.
Sebagai sebuah organisasi, maka WTO terdiri dari direktur jendral, deputi direktur jendral, dan sekretariat yang bertempat di Jenewa, Swiss (Peet, 2003). Dalam aktivitasnya, WTO juga mengadakan sejumlah pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan negara anggota WTO yang bertujuan untuk meregulasi ulang sistem perdagangan yang ada. Di mana regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh WTO ini bertujuan untuk lebih membebaskan aktivitas perdagangan dan mengurangi tekanan pemerintah dalam perdagangan internasional. Sehingga WTO juga mengklaim akan bertindak netral dengan mengelola persetujuan perdagangan, bertindak sebagai forum dalam negosiasi perdagangan, membantu menyelesaikan perselisihan perdagangan, meninjau kebijakan perdagangan nasional, menyediakan bantuan untuk negara berkembang dalam isu kebijakan perdagangan melalui bantuan teknis dan program pelatihan, dan bekerjasama dengan organisasi internasional yang lain (Peet, 2003). Sehingga dengan sikap netral ini, WTO tidak memiliki kapasitas untuk memberikan keputusan terhadap permasalahan yang dihadapi negara-negara, WTO hanya sebagai wadah bagi negara-negara di dunia dalam membicarakan perdagangan internasional. Namun WTO menyediakan berbagai bantuan untuk meningkatkan perdagangan negara-negara anggotanya.
Hingga tahun 2002, WTO telah memili 144 negara anggota. Di mana jumlah ini mewakili dari 97% perdagangan yang ada di dunia. Dari 144 negara anggota WTO ini, dua pertiganya merupakan negara berkembang. Namun, perlu dicatat bahwa status negara berkembang maupun negara maju merupakan status yang diberikan oleh negara itu sendiri. Dalam membuat kebijakan, negara-negara anggota WTO menerapkan prinsip konsensus. Di mana konsensus ini membutuhkan pemungutan suara atau voting. Dalam meberikanvoting ini akan didasarkan pada andil perdagangan yang dilakuka suatu negara. Sebagai contoh, Amerika Serikat memiliki 17% suara, sedangkan negara berkembang yang memiliki andil perdagangan kurang dari 1% dari perdagangan dunia juga memiliki kurang dari 1% suara (Peet, 2003).
Keberadaan WTO sebagai organisasi perdagangan internasional yang mendukung liberalisme perdagangan tidak serta merta mendapat dukungan dari dunia internasional. Beberapa pihak justru mengkritik posisi WTO yang dianggap hanya berpihak pada negara-negara maju. Prinsip WTO yang menekankan keadilan perdagangan (fair-trade) menuai kritik, sebab keadilan menurut WTO tidak berarti adil bagi semua negara, terutama negara berkembang, Keadilan ini hanya terbatas bagi negara-negara yang telah menerapkan sistem perekonomian yang bebas. Selain itu, kritik lain terhadap WTO yakni aturan yang dikeluarkan oleh WTO dianggap tidak sesuai dengan kenyataan kondisi dunia internasional. Di mana ada beberapa negara yang telah meningkatkan perdagangannya namun tidak mendapatkan keuntungan sebanyak perdagangan yang dilakukannya. Kasus ini seperti terjadi pada Meksiko. Sedangkan, negara lain seperti Taiwan tidak banyak melakukan perdagangan dan sedikit menerima investasi asing namun dapat meningkatkan perekonomiannya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa WTO yang berdiri pada 1 Januari 1995 merupakan organisasi perdagangan yang telah memilik legalitas. WTO ini sendiri merupakan lanjutan dari rezim perdagangan sebelumya yaitu GATT. Regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh WTO mendukung kebebasan perdagangan dunia. WTO telah memiliki 144 negara yang memiliki andil dalam pengambilan keputusan melalui sistem konsensus. Namun keberadaan WTO ini juga tidak terlepas dari kritik. Di mana kebijakan WTO dianggap hanya adil bagi beberapa negara dan juga tidak melihat kenyataan yang ada di dunia internasional.

Sumber:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar