Rabu, 13 Januari 2016

Dumping dan Contoh Kasus

Pengertian Dumping

Dumping adalah suatu kebijakan negara atau perusahaan dari suatu negara untuk menjual produknya di luar negeri dengan harga yang lebih rendah bandingkan terhadap harga jual produk itu di dalam negeri itu sendiri.
Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.
Menurut kamus hukum ekonomi dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimport.
menurut Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia), dumping adalah suatu bentuk diskriminasi harga, di mana misalnya seorang produsen menjual pada dua pasar yang berbeda atau dengan harga-harga yang berbeda, karena adanya penghalang tertentu antara pasar-pasar tersebut dan terdapat elastisitas permintaan yang berbeda antara kedua pasar tersebut.
Indonesia sebagai negara berkembang pada umumnya akan memilih suatu perusahaan domestik untuk disubsidi khususnya industri yang benar-benar menjadi ekspor Indonesia. Dan selain itu, Indonesia juga mengambil kebijakan ekonomi seperti penetapan batasan impor, hambatan tarif dan non tarif dan kebijakan lainnya. Sama seperti negara lainnya, Korea juga menetapkan kebijakan ekonomi anti dumping untuk melindungi industri domestiknya. Kali ini yang menjadi sasaran negara yang melakukan dumping adalah Indonesia.

Contoh Kasus

Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO yaitu kasus antara Korea Selatan dan Indonesia, dimana Korsel menuduh Indonesia melakukan dumping Woodfree Copy Paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar.

Pada mulanya harga produk kertas Korsel tinggi dan juga produsen kertas Korsel tidak dapat memenuhi beberapa permintaan pasar. Pada saat itulah masuk produk kertas Indonesia dengan harga yang lebih murah (termasuk jika dibandingkan dengan harga di pasar Indonesia) dan juga dengan produk yang memiliki fungsi/nilai substitusi atas produk kertas yang tidak dapat dipenuhi produsen kertas Korsel, hal ini disebut juga dengan “Like Product”. Karena hal inilah maka produk kertas Indonesia lebih banyak diminati oleh pasar di Korsel, sedangkan kertas produk Korsel sendiri menurun penjualannya. Itulah mengapa Korsel menetapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk kertas yang masuk dari Indonesia, untuk melindungi produk dalam negeri nya.

Produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk, tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used for writing, printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper and other copying atau transfer paper.

Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002. Dan pada 9 Mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dengan besaran untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BMAD terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dan untuk April Pine dan lainnya 2,80%.

Dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor Woodfree Copy Paper Indonesia ke Korsel yang pada tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun menjadi 67 juta dolar pada tahun 2003. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan

Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar